Halo!!
Sebelum memposting cerpenku, kali ini aku mau cerita dikit ya? tepatnya tentang dari mana ide cerita ini muncul.
Jadi, di sore yang gelap, hujan dan penuh geludug, aku membuka halaman twitterku, dan menemukan sebuah thread yang didalamnya sudah ribuan orang me-retweet dan reply.
judul Theard itu adalah :
"KETEMU JODOH DI TOKO BUKU"
"KETEMU JODOH DI TOKO BUKU"
Begitu aku membacanya, kepala gabut-ku yang mulanya mentok karena terserang writer block, mendadak mendapat pencerahan. setelah itu, malamnya aku langsung membuat cerpen ini, dua jam kemudian siap meskipun masih ragu untuk judulnya.
Terimakasih untuk akun twitter @federicakim telah memberikanku inspirasi yang begitu berharga..
Semoga orang itu memang jodohmu.. aamiin..
PS : nama, tempat, dan unsur lain dalam cerpen diubah dari cerita aslinya.
Selamat Membaca!
Kisah Toko Buku
Rasa sakit tidak
pernah peduli dengan seberapa besar perasaan kita terhadap seseorang.
Dan kadang, rasa itu
membutakan seseorang.
Sakit memang, tapi
cukup lucu juga, bagaimana diawal kau buat aku terbang tinggi, lalu di hempas
ke dasar yang keras.
Lyn menarik sudut
bibir ke samping, diam-diam menyetujui prosa yang di cetak besar-besar di bab
novel yang dibacanya. Gelak tawa terdengar nyaring mendadak mengganggu
pendengarannya. Lyn menggerakkan kepalanya ke sumber suara, tempat duduk yang
jaraknya tidak jauh dari tempat duduknya. Ia mendesis dengan lirikan tajam, dan
mengumpat dalam hati, seharusnya ia mencari tempat membaca yang jauh lebih
tenang. Lyn menutup novelnya.
Ia mengambil headset dan memutar lagu yang akhir-akhir ini
menjadi favoritenya. Lyn terdiam untuk waktu yang cukup lama, larut dalam
melodi, dan angan yang terbawa ke masa bahagianya, jauh sebelum hari ini.
“Sorry, Lyn. I don’t mean to hurt you. Aku tidak bisa
menolak keinginan orang tua-ku, tapi aku juga tidak ingin melepasmu. Kamu ceria,
bersemangat, kau seperti mimpi bagiku, kau gadis impianku.You are the only one
I love, Lyn.“
“I know that, Keenan. But, its over. Kamu akan menikah
dengan orang lain dalam waktu dekat. Tunggu, kapan kau akan memutuskanku kalau
aku tidak memergokimu disini? Seminggu sebelum kalian menikah? Atau sehari?”
“Aku tidak akan mencampakkanmu, Lyn. Aku bahkan tidak
berniat untuk putus denganmu. Kenapa kita harus berpisah hanya karena aku
menikah?”
“Pardon?”
“Lyn. Nothting will change between us. Listen, Setelah menikah,
aku akan tinggal di Flat-ku di London. But, My Company in Indonesia. Aku akan
sering disini untuk bersamamu.” Pria itu melepas kacamatanya. “Im sorry, I’ll
pay my fault. Aku akan membelikanmu barang mahal yang harganya sepuluh kali
lipat dari kalung yang kuberi padamu minggu lalu.”
Lyn menatapnya tidak percaya. “You lie to me! You lie about
everything, Kamu berbohong padaku dengan wajah polos itu. Kalau maksudmu bisa
membeliku dengan uangmu, forget it, Keenan.”
“But, I don’t lie about my feeling to you. Im truly love
you. A lot.”
“You are really a jerk, Keenan Danish.”
Lyn menghela panjang, membenci dirinya sendiri karena
percakapan memuakkan itu masih terpatri jelas dalam kepalanya. Membuat ia terus
mengingat pria brengsek yang meluluhlantahkan hatinya, membuatnya lebam-lebam,
meremuk redam perasaannya.
Lyn membuka matanya yang tak sadar terpejam sedari tadi.
Matanya menatap taman luas yang sudah menemaninya sejak tiga tahun lalu, ketika
ia masih menjadi mahasiswa baru disini. Waktu memang berlalu cepat, rasanya
baru kemarin ia belajar seperti orang gila untuk di terima sebagai mahasiswa
penerima beasiswa, bertemu dengan Keenan dan jatuh cinta padanya. Berdiskusi
ditaman soal bimbingan. Lalu, berada disampingnya ketika pria itu menerima
toga.
Lyn mengusir bayangan Keenan dari kepalanya. Menghitung
waktu di jam tangan yang memeluk lengan kirinya, seperti perkiraan, lima menit
kemudian, seorang yang ia tunggu keluar dari gedung. Lyn melambaikan tangannya.
“Bagaimana bimbinganya, Sha?” tanya Lyn.
“Dosbingku mirip macan yang sedang PMS, Lyn. Dia menolak
judul skripsiku, dia bilang bahkan anak SMA jauh lebih baik daripada aku.”
Lyn tertawa. “Aku harap dosen pembimbingku tidak
semengerikan itu.”
Varsha, bersandar lelah di bangku taman, sambil menahan
kesal. Lyn tersenyum kecil. Ia dan Varsha adalah teman satu kost, keduanya
sudah bersama sejak pendaftaran universitas. Varsha memiliki kepribadian yang
lebih humble, dia mahasiswi populer, cantik dan mudah bergaul. Lyn senang
berteman dengan Varsha bukan karena ia seorang model juga, tetapi hanya Varsha
yang mengerti pribadinya yang introvert, tidak suka bergaul, dan lebih suka
membaca daripada hangout. Keduanya merasa saling memiliki.
“Jadi, kita pergi sekarang? Kita akan ketinggalan film nya
nanti.” Ajak Lyn.
Ponsel Varsha tiba-tibat berdering. Bibirnya tersenyum lebar
dan mengangkatnya dengan riang. Lyn merasa sedikit teracuhkan. Beberapa saat
kemudian, Varsha menutup panggilan dan tersenyum padanya. “Sorry, Lyn. I cant
going to watch a movie with you today.”
“What? Why?”
“Gerald. Dia sudah di tempat parkir untuk menjemputku.”
“Are you sure doing this to me, Sha?” rengek Lyn. “Im
waiting you for two hours. Kita sudah janji akan nonton film itu hari ini.”
“Im sorry, Lyn. Pulang nanti, aku akan bawakan makanan kesukaanmu.”
Sebenarnya, tidak banyak yang berubah dari sahabatnya akhir-akhir
ini, kecuali dia lebih sering bersama Gerald dengan meninggalkannya sendirian
atau membatalkan janji tiba-tiba. Gerald, kekasih baru Varsha, seorang polisi
yang juga mahasiswa salah satu fakultas di universitas yang sama dengan mereka.
“Its okay. Salam untuk Gerald ya.” Kata Lyn akhirnya.
Jadi, ia harus pergi nonton sendirian kali ini? Baiklah.
***
“Permisi..”
Lyn sedikit menyingkir dari tempatnya berdiri, dan
mempersilahkan orang tersebut melintas dihadapannya. Ia melihat keseliling,
puluhan rak yang berisi ratusan bahkan ribuan buku yang telah di tata rapi. Hari
ini, toko buku langganannya jauh lebih ramai dari biasanya.
Ia datang untuk membeli novel terbaru penulis favoritenya.
Dan, seperti anak milenial kebanyakan, ia mengeluarkan ponselnya, memotret
ruangan dan memperbaharui instagram storynya, dan menyertakan lokasi toko buku.
Tidak lama, Varsha membalas story post nya.
Cowok hoodie hitam itu
boleh juga, dari samping kelihatannya ganteng!
Lyn mencibir, dan membiarkan pesan itu tanpa membalasnya.
Meski begitu, ia penasaran dan mengecek foto yang ia ambil. Ada seorang pria di
pojok kanan fotonya, memakai hoodie hitam, rambutnya juga hitam legam, sedang
membaca sebuah novel terjemahan.
Lyn melepaskan pandangannya dari ponsel, melihat kembali
tempat ia mengambil gambar lewat smarthphone-nya, namun pria itu sudah tidak
ada disana. Apa yang kau pikirkan, Lyn?
Lyn memilih beberapa buku dan menuju kasir untuk
membayarnya.
Lyn menunggu beberapa orang yang mengantre didepannya dengan
dengan tertib. Sampai pada gilirannya, tiba-tiba seseorang memotong antrean dan
langsung bertanya pada kasir tanpa permisi. Lyn mendecak kesal, dasar tidak
sopan.
Lyn hanya melihat punggung lebar orang yang tinggi menjulang
itu dari belakang. Hoodie hitamnya tidak asing. Tunggu, ini pria yang ada di
fotonya tadi?
“Permisi, mbak saya mau tanya.” Kata pria itu pada kasir.
“Kalau buku Original di taruh di rak sebelah mana ya? Saya sudah cari di rak
novel terjemahan tapi gak ada.”
Lyn menunduk, melipat bibirnya kedalam menahan tawa.
“Sudah mbak. Tapi tulisannya ‘buku tidak ditemukan’. Waktu
saya masukkan nama pengarangnya juga, tetap tidak ditemukan. Tapi, saya dapat
info kalau buku itu sudah di jual disini.”
“Judulnya Origin, kak. Bukan Original. Buku karya Dan Brown
kan?”
Pria itu menoleh dan terkejut. Tidak hanya pria itu, Lyn
juga sama terkejutnya. Ia berusaha se-normal mungkin untuk berekspresi biasa
saja, padahal ia sadar baru saja menahan napas karena pria ini memiliki wajah
yang kelewat menawan. Kulitnya putih bersih, matanya hitam legam seperti
rambutnya yang tebal, wajahnya seperti campuran India-Arab. Garis rahangnya
tegas, dan bulu-bulu halus tumbuh di sekitar pipi dan dagunya.
Tetapi, seperti biasanya, ekspektasi tidak pernah sesuai
dengan kenyataan. Alih-alh mengucapkan terimakasih, pria itu , seperti
biasanya, ekspektasi tidak pernah sesuai dengan kenyataan. Alih-alh mengucapkan
terimakasih, pria itu nyelonong begitu
saja. Sudah dapat Lyn tebak, pria itu pasti malu.
***
“Lyn, aku gak sabar lihat kamu dapat pacar. Kayaknya
friendship goals banget kalau kita bisa double date.” Kata Varsha ketika mereka
berjalan menuju kantin kampus.
Lyn mengusap perutnya yang keroncongan, tidak berniat
membalas ocehan wanita yang sedang kasmaran. Setelah resmi berhubungan dengan
Gerald, topic yang selalu sahabatnya bicarakan ialah pacar, pacar, dan pacar
lagi.
“Ini sudah setahun semenjak kejadianmu dengan Keenan—ups
sorry.” Tiba-tiba Varsha merasa bersalah setelah tiba-tiba menyinggung orang
yang coba Lyn kubur dalam-dalam.
“Maksudku adalah, kau itu bukan masih
mencintainya, kamu hanya tidak tahu harus jatuh cinta pada siapa setelah
kehilangannya tiba-tiba. Berusahalah untuk membuka hati, Lyn.”
“Gimana kalau ayam geprek untuk makan siang kita?” tanya Lyn
pada Varsha.
Kantin kampus di jam makan siang sudah mirip pasar, penuh
sesak dan sangat berisik. Dua sahabat itu berusaha mencari tempat kosong untuk
tempat makan mereka berdua. Lyn juga sudah mulai pegal membawa nampan berisi
dua porsi ayam geprek.
Tiba-tiba ponsel Varsha berdering lagi. Dan, sepertinya Lyn
tahu siapa yang menelpon. Seperti dugaannya, Varsha tersenyum merasa bersalah.
“Sorry, Lyn. Kata Gerald dia sudah menunggu di taman dari tadi,”
Lyn pasrah. Ia juga tidak
bisa marah. Sebelum pergi, Lyn bertanya soal makanan-nya. Varsha
menjawabnya, “Ayam gepreknya untukmu saja, katanya Gerald bawakan makanan.”
Lagi, Lyn ditinggalkan sendirian. Gadis itu menjulurkan
lehernya, mencari tempat kosong untuk menghabiskan dua porsi ayam gepreknya. Ia
nyaris lupa, hari ini jadwalnya bertemu dosen pembimbingnya. Baiklah,
sepertinya ia memang harus makan banyak untuk menyiapkan mental dan fisik
bertemu dosen pembimbing.
Setelah lima menit berputar-putar, ia memutuskan untuk nekat
duduk disalah satu bangku dimana ada seorang pria yang juga duduk disana, tanpa
memesan apa-apa, hanya fokus pada tabletnya. Yah, setidaknya lebih baik
daripada makan sambil berdiri.
“Permisi kak. Boleh ikut duduk disini?”
Lyn terkejut. Matanya membelakak kaget begitu pria itu
menurunkan hoodie nya dan mendongak. Seperti halnya Lyn, pria itu sama
terkejutnya.
Dia pria Original itu!
“Kamu yang cari buku Dan Brown itu kan?” tanya Lyn, lalu
duduk di hadapan pria itu. “Kuliah disini?”
Pria itu tersenyum manis. Hal sederhana seperti itu membuat Lyn
mematung beberapa saat. Sesuatu dalam dirinya mengulang kembali seperti pertama
kali mereka saling menukar pandang, kulitnya putih bersih, matanya hitam legam
seperti rambutnya yang tebal, wajahnya seperti campuran India-Arab. Garis
rahangnya tegas, dan bulu-bulu halus tumbuh di sekitar pipi dan dagunya. Pria
itu belum juga menurunkan senyumannya. Lyn merasa beberapa sirkuit di otaknya
putus, dan ia merasa kikuk. Dan sudah Lyn pastikan, senyuman bisa sangat
berbahaya!
“Kuliah disini? Jurusan apa?”
“Sastra Inggris semester 7.” Jawab Lyn.
Pria itu menangkat alisnya, dan tersenyum lagi. Lyn
cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
“Kamu lagi nunggu seseorang?”
“Engga. Kenapa?”
Pria itu mengeluarkan ponselnya. “Ah, kalau begitu, pasti
kamu lagi lapar banget?”
Lyn baru sadar, ia membawa nampan dengan dua porsi ayam
geprek. Lyn cepat-cepat membuat alasan,
“Ah, iya! Sebenarnya aku sedang
menunggu dosen pembimbingku tadi! Ya! Kami janjian bertemu disini. Kemana ya
dia?” Lyn mengeluarkan ponselnya dan menelpon dosen pembimbingnya. Kenapa tidak
bilang saja kalau ia ditinggalkan teman yang lebih memilih makan siang dengan
pacarnya?
Tunggu, dia sungguhan menelpon dosen pembimbingnya? Lyn
bodoh!
Baru saja ingin membatalkan panggilan, dosen pembimbingnya
mengangkat telepon. Lyn tersenyum ke arah pria itu dan meletakkan ponsel di
telinga kiri.
“H-Halo, Pak.”
“Iya, Halo.” Jawab dosen pembimbingnya.
Lyn terkejut, pasalnya, ia tidak mendengar suara dosen
pembimbingnya dari telepon, tapi dari hadapannya. Ia mengira pria Original itu hanya kebetulan menerima
telepon juga dari orang lain, tetapi nomor dan photo profile miliknya yang
muncul di ponsel pria itu membuatnya yakin seribu persen.
“Wah, saya gak tahu kalau kita ada bimbingan di kantin. Mana
dibeliin makanan juga lagi, padahal baru pertemuan pertama, saya jadi gak
enak.” Pria itu tersenyum lagi. dan lagi-lagi, Lyn harus melipat bibirnya
kedalam, menahan debaran jantungnya.
“Tapi, ibu saya bilang gak boleh nolak
rezeki.” Imbuhnya.
“E-eh, iya ..Pak.” kata Lyn tersenyum canggung.
“Panggil saja, Nuka.” Katanya sambil tertawa kecil. “Kamu
lucu, saya suka.”
-Fin-
Mohon maaf apabila banyak kesalahan, dan terimakasih untuk @federicakim atas threadnya <3
Sertakan sumber jika ingin copas ya!
Salam Literasi!
Mohon maaf apabila banyak kesalahan, dan terimakasih untuk @federicakim atas threadnya <3
Sertakan sumber jika ingin copas ya!
Salam Literasi!
Komentar