Langsung ke konten utama

Cerita Pendek : Hansel dan Kue Keberuntungan



Hansel dan Kue Keberuntungan
All my bags are packed, I'm ready to go
I'm standin' here outside your door
I hate to wake you up to say goodbye..

But the dawn is breakin', it's early morn
The taxi's waitin', he's blowin' his horn
Already I'm so lonesome I could die

Lagu Leaving on a Jetplane milik Chantal mengalun merdu seirama bus yang melaju sedang. Jalanan lengang sebab malam nyaris berganti pagi. Terdapat lima penumpang karena bis yang ia tumpangi ialah yang terakhir, ada dua muda-mudi dibelakang, pegawai kantor yang sedari tadi fokus pada tabletnya, lalu seorang pria berpakaian dandy duduk bersebelahan dengan gagis manis beralmamter yang di dada kirirnya tertera;Hana Santyva. Nasib Hana menjadi mahasiswa Jurnalistik semester IV, tugas, laporan, praktikum, belum lagi aktivitas organisasi yang cukup menguras tenaga dan mengacaukan jam tidurnya. Meskipun Rezky, ketua organisasinya menawarkan diri untuk mengantar, Hana lebih memilih bus.
Hana turun di halte bersama dengan dua oarng lain dan masuk gang tempat kostnya. Jalanan sepi lengang, gang sempit dengan penerangan remang-remang dan tangga-tangga curam, daerah tempat tinggalnya tidak semenyeramkan ini ketika siang. Ia berkelok di tikungan, dan sial! Empat orang preman menghalangi anak tangga yang harus ia lewati, dan ia yakin ia sudah terlambat untuk berbalik. Tiga dari empat preman mendekati sambil mengacungkan botol miras. Matanya cekung, menghitam, serupa dengan warna bibir dan gusinya. Napasnya campuran asap rokok dan alkohol. Orang itu mengendus-endus hidungnya sendiri, Oh Tuhan! Hana dalam masalah, mereka pecandu!
“Hai cantik, pulang kerja ya? Sini nongkrong dulu sama kita. Oh masih kuliah ya? Malam ini, main dengan kita saja, oke?” Hana belum siap melakukan ancang-ancang untuk berlari, preman-preman itu menghimpit Hana ke tembok, ia gemetaran. “Aku lebih baik mati daripada harus ikut dengan sampah seperti kalian!”. Salah satu—yang sepertinya merupakan pimpinan  preman  mencengkram  rahang Hana sambil menyeringai bak iblis, lalu tertawa. “Akan kukabulkan! Tapi setelah kita bersenang-senang! Bawa dia!”
Ketiga preman menyergap Hana secara paksa, merobek almamater, menjambret tasnya, Hana kepayahan meskipun mengerahkan seluruh tenaga meronta, tenggorokannya perih untuk sekedar berseru tolong, kekuatannya tak sebanding dengan tiga tubuh besar preman mabuk.
Bugh! Tiba-tiba Hana tersungkur ke tanah bersama seorang preman dibelakangnya. Disusul suara erangan dan suara botol pecah. Ia tak jelas melihat dikegelapan. Tapi yang pasti terjadi pertarungan sengit satu lawan tiga. Hana meringkuk ke dinding menyaksikan adegan kekerasan tepat didepan matanya. Sang bos tiba-tiba menyeretnya dari tempat, Hana berteriak. Pria misterius tersebut menggulingkan bajingan itu dalam beberapa pukulan bertubi-tubi.
“Kau baik-baik saja?” Suara bass-nya mengalun dengan napas terengah.
Hana merapat ke dinding ketakutan. “J..jangan sentuh aku. Aku mohon! pekik Hana histeris dengan airmata berderai. Pria itu meraih wajah Hana dan menatapnya lembut. “Jangan takut. Kamu sudah aman. Kita satu bus dan turun di halte yang sama tadi, namaku Hansel Vega.” Pria itu melepas jaketnya dan memakaikannya pada Hana. (Kemegahan Tuhan, Bintang Terang) ”
֎֎֎
“Duduklah. Rapatkan jaketnya.” Hana menurut. Kini, giliran Hansel yang bingung harus berbuat apa, pasalnya gadis di sebelahnya tak mengucapkan sepatah kata apapun setelah kejadian yang nyaris saja. Jadi, Hansel mengajak Hana duduk di tenda beranda kafe. “Bagaimana kalau kita ke rumah sakit?”,usulnya.  Hana tidak merespon. Matanya memandang kosong ke depan. “Kau yakin baik-baik saja? Tidak ada yang terluka? Kamu ingin sesuatu?” Hansel gemas kemudian berlutut tepat di depan Hana. Ia berdecak, menacak rambut gondrongnya frustasi lalu melirik name tag di almamter yang koyak. “Hana Santyva, lihat wajahku!” Ajaibnya Hana membalas tatapan Hansel beberapa saat. Pria itu tersenyum lebar, “Akhirnya kau mendengarku.. Hei kau baik-baik—”
“Dahimu.” Kata pertama yang diucap Hana mengerutkan alis Hansel. Dahi? Ia menyentuh dahinya tapi cepat ditahan Hana. Tangnnya sangat dingin. Gadis itu merogoh kedalam tas, mengeluarkan plester kemudian menyingkap poni rambut Hansel, menempelkan plester di tempat luka. Hansel mengelus dahinya. Masih kaget dengan perlakuan Hana pada dirinya.
“Terimakasih sudah datang menolongku. Dan, maaf karenaku kamu jadi terluka.”,sesal Hana. Hansel menatap sendu, “Hey, aku menyesal tidak datang lebih cepat, kalau sampai terjadi sesuatu padamu karena aku terlambat satu detik saja, kupikir aku bisa gila.” Hansel berdehem canggung. “Bagaimana dengan plester ini? Masih terlihat tampan kan?”,tanya Hansel jenaka tanpa sangkat membuat Hana tertawa. Di saat itulah Hansel melihatnya.
“Tunggu!”
Hansel angkat tangannya kewajah Hana. Gadis itu terhenyak,terlebih ketika tangan itu menyentuh permukaan kulit pipinya. Salah, lesung pipinya. “Wah, ini.. Aku belum pernah melihat yang seperti ini.” Ia takjub seperti seorang anak melihat permen kapas raksasa sambil menekan jari telunjuknya tepat di lesung pipi. Hana kikuk dan gugup menghadapi kontak fisik dengan pria tak di kenal itu, ia meremas tangannya. Hansel menyadari ketidaknyamanan itu langsung mundur, “Maaf aku  hanya tidak tahan untuk tidak menyentuhnya. Darimana kamu dapat itu?”
“Kamu pikir aku memungutnya dari jalanan?”, Hana berseru nyaring sambil mendelik, menyamarkan gugup yang jelas tertulis di keningnya besar-besar. Tetapi Hansel tidak menghiraukan, ia malah mengikuti kemana wajah Hana menghadap, menunggu lesung pipi itu muncul kembali. Sejurus kemudian, gemuruh dan suara rintik-rintik hujan menimpa permukaan bumi mengalihkan fokus keduanya. Hansel berdiri, menadahi air hujan yang jatuh menyentuh telapak tangan. “Mugeobge biga..” Ia membalikkan badan sambil tersenyum, “Artinya hujannya deras. Aku mahasiswa semester lima jurusan Sastra Korea. Yah, kemungkinan, dalam waktu dekat aku juga kesana untuk melanjutkan studi.”
“Apa karena itu pakaianmu sangat dandy dan model rambut poni-menutupi-kening seperti boyband-boyband Korea disana?”
Hansel tesenyum menawan, lalu berpose seperti seorang model, memasukkan kedua tangan ke saku celana sambil mengangkat dagu. “See, Aku lebih tampan dari mereka, kan?” Hana seketika tertawa, lesung pipinya nampak dalam. Hansel terenyuh dibalik pose tampannya.
Kenapa ia bisa ia bertemu dengan wanita semenarik Hana Santyva disaat-saat seperti ini? “Akhirnya, kamu tertawa juga.”,Hansel puas usahanya berhasil. Ia menoleh ke jalan, “Hujannya cepat sekali berhenti. Pakai dulu jaketnya dan aku akan mengantarmu pulang, sekarang”,ucapnya kemudian. ” Hana mendongak, “Jadi kita akan bertemu lagi?”
֎֎֎
Taman Vandia pukul 15.00 sore.
Sebelumnya, Hana hanya dengar dari teman kampusnya saja kalau taman ini memiliki pemandangan yang indah dan asri. Hana baru sempat mengakuinya hari ini. Padang rumput hijau, terdapat beberapa blok bunga-bunga. Jalan setapak yang dilewati pengunjung dari batu apung. Hana mengayunkan tungkai mungilnya sambil menjinjing goodybag berisi jaket kulit milik Hansel kemudian duduk di bangku taman dekat air mancur. Ia melirik arloji, sudah lewat lima belas manit namun Hansel belum jua muncul. Ketika jarum panjang menunjuk angka enam, seorang anak lelaki bertubuh gempal mendekatinya. Dengan sebuah permen lolipop besar, ia memberikan secarik kertas memo dan sepotong kue keberuntungan yang di bungkus rapi. Anak tadi langsung berlari setelah memberikannya.
Aku tidak bisa menepati janjiku hari ini, maaf. Pastikan tidak pulang malam dan sendirian lagi. Sampai bertemu lagi aku akan datang untukmu, Lesung Pipi :) –Hansel–
֎֎֎
“Siaran hari ini sungguh mendebarkan! Berkat ketangkasanmu acara kita dapat respon yang sangat baik!” Liliana—sahabat seperjuagan Hana memujinya. Hana tersenyum simpul.
Liliana melirik Hana. “Ngomong-ngomong apa sudah ada kabar dari ksatria malam-mu itu? Hansel?”,celetuk Lisa tiba-tiba. Hana menatap Lisa, “Kenapa tiba-tiba menyinggung soal Hansel?”
“Aku masih tidak mengerti, ini sudah berlalu tiga tahun setelah dia pergi meninggalkan secarik memo dengan tiga kalimat pendek dan kau masih tetap menunggunya. Tiga tahun! Tiga! Dengar ya Hana, kalau seseorang benar-benar menyukai kita, dia akan memberi komitmen terikat, bukan ketidakpastian dan akan berlari menjemput, bukan membiarkan kita menunggu.”
“Kalau Rezky yang memintamu melakukan ini, beritahu dia keputusanku tidak berubah.”
Lisa mendengus, “Dia atasanku ingat? Aku tak bisa menolak perintahnya. Tapi aku sendiri heran, kenapa kau menolak Rezky? Dia tampan, karir cemerlang, keluarganya terpandandang, juga punya cambang yang seksi. Kalau alasanmu masih cinta pada pandang pertama? Apa matamu tak salah? Kalian bertemu ketika tengah malam, mungkin saja sinar lampu membuatmu keliru. Bagaimana kalau—“ Lisa sadar kalau Hana tidak ada disampingnya, temannya itu berdiri beberapa meter dibelakang dengan wajah menghadap ke papan selamat datang Taman Vandia. Jadi dari tadi dia mengoceh sendirian?
“Lisa, pergi saja duluan. Aku akan mampir kesini dulu.”
֎֎֎
Dia tak nyata. Hanya pangeran berbaju  zirah yang menyelamatkanmu dalam mimpi buruk. Ternyata, mengubur perasaan lebih sulit daripada memupuk, dan menyiraminya sampai subur. Siapa sangka kalimat pendek pada secarik kertas sanggup mematri seorang, membuatnya tak bisa bergerak dan menyongsong hati yang lain. Nyatanya, tiga tahun terlalu singkat untuk membuat hati Hana selalu terombang ambing. Ia merasa senang, lalu bersedih. Acapkali ia merasa kegirangan, detik berikutnya ia begitu kesepian. Tersangka seolah di telan bumi. Ada dimana, bagaimana keadaannya, bayangan tentang Hansel hanya sebatas senyum manis di bibirnya malam itu, dan jaket kulit yang beraroma kayu manis.
Hana menyetel musik lewat earphone dan duduk di bangku taman kesukannya semenjak tiga tahun lalu.
So kiss me and smile for me.. 
Tell me that you’ll wait for me.. 
Hold me like you never let me go..
Hana tersenyum menikmati suara merdunya. Namun ketenangannya terganggu saat ia rasakan benda asing menyentuh pipinya, bermaterial lembut sama seperti kulitnya. Hana spontan menoleh, lalu menjauh merapatkan punggung pada lengan bangku. Seorang pria berkacamata hitam tertangkap basah dengan jari telunjuk mengambang diudara. Kemeja biru navy, sepatu pantovel, rambut model mohawk dengan sisi pendek disamping dan bagian panjang didepan diangkat keatas memamerkan dahinya. Pria itu tersenyum lalu melepas kacamatanya.
Deg! Jantung Hana terjun bebas ke perut. Matanya membelalak sempura dan wajah yang berubah pucat.
Pria itu mendekatkan dirinya ke Hana. “Sudah lama sekali sejak terakhir aku menyentuhnya, kenapa kulihat makin menggemaskan saja?”, Hana sama sekali tak bereaksi. Ini terlalu tak mungkin untuknya, dan tiba-tiba. “Kau.. Hansel?”
Pria itu mengedipkan sebelah matanya. “Cuacanya disini cerah sekali padahal Korea Selatan masih musim dingin. Kenapa melihatku seperti itu? Hey, jangan terlalu terharu seperti itu, aku tahu kau merindukanku kan?—“ Duk!Bugh! Hana memukuli Hansel tanpa perasaan, bertubi-tubi. “Jadi selama ini kau disana!? Berkali-kali aku nyaris melaporkanmu ke polisi atas kasus orang hilang dan memberikan jaket pada petugas investigasi agar anjing polisi bisa melacakmu, melihat penampilanmu sekarang sepertinya kau makan dan tidur dengan baik, tidak berpikir bagaimana aku melewati tiga tahun ini? Kenapa tega sekali bersikap seolah tidak ada apa-apa!?”,suaranya melengking. “Hana Santyva, yah.. Kau telah berubah.”,Hansel shock melihat Hana yang berapi-api.“Hana Santyva, ada apa sebenarnya?”
“Ada apa? Apa sulitnya memberitahuku kalau kamu di Korea selama tiga tahun ini, Kamu sama sekali tidak mengabariku, aku tidak tahu kamu hidup atau mati, bahkan aku khawatir kalau mungkin kau terluka. Kau hanya meninggalkanku memo dan kue beruntungan itu.”, Suara gadis itu turun beberapa oktaf, matanya berkabut. Hansel menatapnya. “Aku pulang lebih awal untukmu. Seharusnya aku selesaikan studiku selama empat tahun. Aku sangat rindu padamu, jadi aku belajar seperti orang gila agar bisa selesai lebih cepat untuk menemuimu. Bukankah kau sudah memakan kuenya?”
“Kenapa aku harus memakannya? Paling kau beli di toko kue pinggir jalan, lagipula apa yang akan muncul selain sepotong kertas berisi petuah dan ramalan?”
“Hal yang ingin kusampaikan padamu.”,jawab Hansel dengan mimik serius. Ia menghela karena Hana tertegun. Ia sungguh menghindari mengucapkannya secara langsung, ia jadi gugup sekarang.
“Tuhan punya banyak cara menghadirkan cinta. Hana Santyva, kau salah satunya. Kau datang seperti mimpi indah di musim panas, hatiku gemetar. Apa waktu yang tidak memihak padaku? Bahkan jika dunia memaksaku jauh, hatiku tetap mengenal dirimu. Aku bukan hendak membuatmu menunggu, tapi rasanya terlalu singkat pertemuan kita. Walau begitu, aku takkan pernah ucapkan selamat tinggal, karena kupastikan kita akan bertemu, secepatnya.”
“Tidak usah berlebihan. Kau tidak mungkin menghapal isinya.”,elak Hana. Ia merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan kemasan plastik kue yang Hansel titipkan pada anak kecil tiga tahun silam. “Kau selalu membawanya?”, tanya Hansel. Ada lipatan kertas berbentuk persegi setelah Hana membelah kue jadi dua dan membaca kertas didalamnya.
Hatinya bergetar dengan napas tercekat, entah kenapa dadanya jadi sedak, semua ucapan Hansel tertulis disini.  “Hana Santyva.. Karena lebih dari seratus kali aku membacanya, dan lebih dari seratus kali aku ingin menemuimu. Terima kasih sudah sabar menungguku.”
“Tapi kenapa tidak memberitahukannya langsung padaku?”
Hansel menyentuh rambut Hana, kemudian turun sedikit menunju lesung pipinya, mengusapkan ibu jarinya disana. “Karena jika aku mengatakannya langsung, aku akan melakukan ini dan tidak akan pernah bisa meninggalkanmu.”, Hansel menatap manik-manik matanya lembut. “Seumur hidup aku belum pernah merasa seyakin ini, aku sudah menyukaimu sejak kali pertama kali berjumpa, bahkan aku mencintaimu meski kita tidak saling tatap muka. Rasaku padamu makin membuat sesak di dada seiring detik berlalu. Untuk wanita favoriteku Hana Santyva, entah dibelahan bumi lain berada. Perasaanku  takkan berubah. Aku mencintaimu.”
~Fin~

Jangan lupa sertakan sumber ketika copy paste ya !
Salam Literasi!



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek : Kisah Toko Buku

Halo!! Sebelum memposting cerpenku, kali ini aku mau cerita dikit ya? tepatnya tentang dari mana ide cerita ini muncul.  Jadi, di sore yang gelap, hujan dan penuh geludug, aku membuka halaman twitterku, dan menemukan sebuah thread yang didalamnya sudah ribuan orang me-retweet dan reply.  judul Theard itu adalah :  "KETEMU JODOH DI TOKO BUKU" Begitu aku membacanya, kepala gabut-ku yang mulanya mentok karena terserang writer block, mendadak mendapat pencerahan. setelah itu, malamnya aku langsung membuat cerpen ini, dua jam kemudian siap meskipun masih ragu untuk judulnya.  Terimakasih untuk akun twitter @federicakim telah memberikanku inspirasi yang begitu berharga.. Semoga orang itu memang jodohmu.. aamiin.. PS : nama, tempat, dan unsur lain dalam cerpen diubah dari cerita aslinya. Selamat Membaca! Kisah Toko Buku Rasa sakit tidak pernah peduli dengan seberapa besar perasaan kita terhadap seseorang. Dan kadang, rasa itu membutakan se

Cerita Pendek : Cincin

Helo People!  Kukembali dengan membawa  satu cerita pendek lainnya!  Semoga suka! and..  Happy Reading! Cincin Jakarta tidak berubah, panas matahari masih begitu terik, di perparah dengan kemacetan yang kian hari kian padat. Baik panas ataupun macet, dua hal lumrah tersebut sudah jadi bagian hidup semua orang yang menetap di dalamnya. Meski begitu, hal-hal yang menurut sebagian orang tak menyenangkan ini bisa jadi pemicu rindu seorang kala jauh, setidaknya itu menurut Azka, seorang mahasiswi yang merantau jauh ke negeri ginseng. Studinya dimulai ketika ia lolos seleksi beasiswa S1 Kyunghee University untuk Departemen of Fashion Art di Kota Seoul, Korea Selatan. Bukan perkara mudah untuk mendapatkannya, tetapi Azka bersyukur bisa jadi orang beruntung yang dapat berkuliah di salah satu universitas terbaik se-Asia. Azka tidak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mendalami ilmu fashion yang seyogianya merupakan cita-cita Azka sejak kecil, ditambah jika berkaca dari kejadian

Cerita Pendek : Yogya Bersamamu

Yogya Bersamamu Matahari bersinar. Hangatnya harumkan bunga bermekaran. Tiada tempat setenang disini, setidaknya menurut Fairizh, atau akrab di panggil Fay, seorang gadis keturunan Tiongkok-muslim yang lahir dan besar di Ibukota Jakarta. Belum genap seminggu setelah ia bermukim di sebuah penginapan asri dipusat kota Yogyakarta , ia langsung jatuh hati. Disini, ia temukan satu hal dimana sebuah senyum dan sapaan nan ramah bisa menggugah hati. Karena begitu ia keluar penginapan, ia disambut hangat orang-orang sekitar. “Selamat pagi mbak Fay, Pagi-pagi udah cantik, to?” ialah Pak Anto, pria berumur pengelola villa dengan senyum ramah melekat dan logat jawa yang kental. “Selamat pagi juga P ak. Iya nih mau lihat-lihat keratin sekalian mau cari oleh-oleh buat yang di Jakarta.”,ujar Fay. “Baru selesai lari pagi ya, Pak?” “Iya dong. Daripada tidur dirumah mending keluar cari keringet mbak, badan juga jadi sehat.”, katanya. “Ohya? Mbak Fay gak akan nyesal kalau kesana. Nah kal