Langsung ke konten utama

Cerita Pendek : Kisah Kita dan Akhir Bahagia



Kisah Kita dan Akhir Bahagia
Tungkainya mengayun terseok-seok, menyekap hening malam mencekam. Ditiap tarikan napasnya disertai pula keluh kesah juga sesal yang dengan segenap kekuatan menyergap, menciptakan sensasi pilu yang amat. Ingin sekali rasanya ia mengadu pada langit diatas, tentang semua kesakitan dan perilaku tak adil dunia. Diatas sana, bintang nampak berkilau memancarkan cahaya kelap-kelip memesona. Ia mengumpat dalam hati, betapa kejam bintang disana, mereka tetap indah ditengah kacau balau dunia, dunianya, dunia Rey.
“Daripada menjadi bulan yang terang karena menerima cahaya dari sang matahari, aku lebih suka jadi bintang. Meski nampak kecil, mereka hanya terlampau jauh, dan yang pasti mereka memiliki cahayanya sendiri, dan bersinar tanpa bantuan orang lain”, ucap seorang suatu ketika.
Rey mengusap wajahnya kasar, seketika meringis perih, lupa pada memar biru serta lecet diwajah babak belurnya. Tak begitu jelas teringat dimana ia mendapat luka ini, entah di bar kumuh pinggir jalan atau lorong gelap tempat sampah dan preman-preman bernapas alkohol. Ia tak ingat apalagi peduli karena, luka tubuhnya tak sebanding dengan luka batin didalam yang begitu menyiksa, dan mengurungnya. Sudah berlalu satu tahun penuh setelah kejadian mengerikan itu, berkali-kali ia mencoba membunuh dirinya sendiri, tapi Tuhan seperti ingin ia menderita seumur hidup sembari menyesali perbuatanya. Beberapa orang disekeliling Rey membual tentang waktu yang akan menghapus duka, tapi nyataannya tak pernah sedikit pun waktu yang berlalu tanpa rasa sesal. Lupa sepertinya tak ingin hadir dalam kepala Rey, ia membiarkan Rey terjebak dimasa lalu, beserta semua kenangannya.
Waktu bergerak siang ke malam, serta hari juga bulan, terasa hampa. Seperti ia berada di ambang hidup dan mati, mamatung di ketiadaaan. Langkah Rey berhenti didekat bangku besi yang cat-nya memudar. Rey putuskan untuk berbaring disana. Lampu taman berdiri sombong sepuluh meter jauhnya dari bangku. Cahayanya samar-samar sampai, dan sekali lagi dipandanginya bintang-bintang itu dengan napas sesak. Ingin rasanya meraih salah satu dari mereka untuk menemaninya saat ini, tetapi apa ia masih pantas mendapatkan kebahagiaan dari pelita itu? Semakin Rey lihat, makin tercekat rasanya. Rey letakkan punggung tangan dikepalanya lalu memejamkan mata. Satu bulir air keluar dari matanya yang lelah, mengalir ke samping melewati telinga dan jatuh dibesi dingin. Begitu juga dengan setengah jam berikutnya. Otaknya melarang untuk merengek, tapi hatinya terlalu sedih untuk menolak.
“Aku merindukanmu”, suaranya serak. “..aku merindukanmu.”
***
“Hei, kau baik-baik saja? Permisi!”
Suara sayup-sayup menghampiri penghunjung mimpi menyedihkan Rey. Berangsur-angsur kesadarannya kembali, ia buka kelopak matanya yang terasa berat dan pusing. Atap yang dia llihat masih sama, hamparan langit tak bertepi, serta kerlip bintang. Ketika matanya terbuka sempurna, disitulah Rey rasa jantungnya berhenti mendadak, nyaris mati. Ada sebuah wajah yang membingkai manis dengan ekspresi khawatir mengambang dilangit, pemandangan cantik yang membuat ia tidak ingin bangun lagi, namun ketika sentuhannya mendarat dibahu, Rey sadar itu bukan mimpi.
Rey spontan duduk. Orang itu menghela, “Syukurlah, ku kira aku menemukan orang mati. Kenapa tidur ditempat gelap seperti ini?”
Detik pertama ia yakin kalau ini hanyalah halusinasi, angin yang menghembus mengibarkan rambut gadis itu, mengacau-balaukan kerja jantung Rey, ini bukan fantasinya. Detik selanjutnya hatinya gamang, lebih baik ini hanya imaji, ini terlalu fana untuk jadi nyata. Rey pandangi wajah samarnya dalam gelap, terlihat sangat cantik terlindung gulita malam. Gadis menawan yang masih sama seperti yang terakhir ia ingat, memesona, memiliki mata ekspresif dan senyumnya yang manis. Kecuali—
“Boleh aku duduk?”, tanyanya. Rey seret tubuhnya ke tepian bangku memberinya ruang juga jarak untuknya duduk. Gadis itu duduk di tepi yang lain kemudian menatap langit diatas, “Apa tadi kau sedang melihat mereka juga? Bagaimana menurutmu, cantik bukan?”
Rey menyeringai pada jutaan bintang diatas, apa yang sebenarnya mereka ingin tunjukkan? Keindahan salah satu dari mereka yang benar-benar mendatanginya detik ini, atau fakta menyakitkan lain bahwa seharusnya Rey tak sama sekali berharap?
Daripada menjadi bulan yang terang karena menerima cahaya dari sang matahari, aku lebih suka jadi bintang. Meski nampak kecil, mereka hanya terlampau jauh, dan yang pasti mereka memiliki cahayanya sendiri, dan bersinar tanpa bantuan orang lain.”,kata gadis tersebut. “Itu kata-kata yang selalu teringat dalam otakku, entah mengapa”, lanjutnya. Gadis itu menoleh, ekspresi wajahnya berubah heran, “Apa sebelumnya kita pernah bertemu?”
Rey tercekat. “Kurasa tidak”. Namun, gadis ini malah mendekat sambil memiringkan wajah cantiknya sembari menyipit, “Tapi kurasa iya. Aku merasa seperti pernah mengenalmu, wajahmu sangat familiar bagiku. Apa benar kau tidak mengenalku?”
Ia memundurkan wajahnya kembali ke posisi semula, kemudian menunduk menatap kedua kakinya yang diayunkan-ayunkan. “Sebenarnya, aku sedang mencari sesuatu.. atau seseorang. Satu tahun lalu, kecelakaan besar menimpaku dan membuat ingatanku hilang. Anehnya, aku masih ingat keluarga serta teman-temanku. Tapi aku tidak tahu apa yang terjadi sebelum kecelakaan. Menurut dokter, aku mengalami Amnesia Episodik Sporadis.”
Hilangnya ingatan kepada seseorang atau suatu kejadian tertentu. Ya, dokter itu juga mengatakan hal yang sama padaku juga.  “Keluargaku melarangku untuk mencari tahu, tetapi banyak pertanyaan dalam benakku. Kenapa aku terus seperti ini.. Wajah siapa yang aku lupakan.. Janji apa yang sudah aku lupakan. Aku merasa frustasi karena tidak mengingat apapun yang terjadi hari itu, atau sebelumnya. Sejujurnya, aku tidak tahu dimulai darimana ingatanku yang hilang. Tetapi, semenjak aku bangun dari koma, aku belum pernah seyakin ini pada sesuatu. Aku tahu otakku tak mampu mengingat,tapi tubuhku bisa, hatiku juga mengamini. Dan, ketika melihat wajahmu, aku yakin aku mengenalmu dahulu. Ini terdengar aneh, tapi maukah kau membantuku mengembalikan ingatanku?”
“Kata mereka, itu kenangan yang menyakitkan, dan orang itu juga yang membuatku seperti ini. Kalau memang iya, kurasa aku mencintainya karena meski otak-ku tak mampu mengingat, tubuhku bisa, dan hatiku ikut mengamini. Jadi aku ingin mengingatnya dalam hati, menyimpannya sampai aku mati.” Tenggorokkan Rey perih, “kalau itu menyedihkan, kenapa kau masih ingin menyimpannya? Kau akan meresa tersiksa juga.”
“Karena.. Aku bisa mencintainya. Daripada tidak bisa mencintai dan mengingat orang itu, aku lebih suka mencintai dan mengingat dia, meski itu menyedihkan.”
Deg! Rey merasa dadanya di-iris-iris. Satu tahun lalu atau bahkan hari ini, Gadis ini masih gadis cantik terbodoh yang mencintai Rey, dan Rey-lah pria terbodoh yang melukai gadis ini begitu dalam. Rey tak bisa menyambut uluran tangan gadis ini. Tidak pantas. “Kau salah orang”, kata Rey sambil berdiri. “Pergilah, bukan aku orang yang kau cari.”
“Tapi aku yakin kalau—“
“Kalau gitu, biar aku yang pergi”, Rey lalu pergi. Tetapi, tangan mungil itu gesit menahan pergelangan tangan Rey. Ketika jari-jari hangatnya mengisi kekosongan ruas jari Rey yang beku, Rey lupa cara bernapas. Rasanya ingin ia hentikan waktu barang sedetik, membalas segenggam rindu meski sejenak saja namun detik yang singkat itu, kenangan merangkap dalam waktu yang lama ke masa lalu, Rey hanya berharap bahwa tak ada sayatan di dada, ketika itu terjadi.
Hari itu sudah memasuki penghujung musim hujan. Jejak-jejak air menempel di dinding kaca. Jalan raya cukup sepi di jam kerja. Sebuah kafe di depan sebuah perusahaaan real estate berdiri manis, menawarkan kehangatan menu andalan lewat dinding kaca tembus pandang. Aroma hangat coffee menyergap hidung, membangkitkan hasrat berbelok bertandang sesaat dan mencicipi harumnya. Seorang pria bersetelan jas memandang ke arah jendela, matanya tajam, dan segaris rahang tegas yang membingkai wajahnya membuat siapapun rela menghamburkan beberapa saat waktu berharga mereka untuk sekedar curi-curi pandang. Diluar, rintik-rintik hujan datang lagi. Lonceng pintu berdenting, seorang gadis berwambut panjang gelombang masuk, melepas mantel dan tersenyum. Senyumnya merekah dari bibir merahnya. Mata teduh itu berkeliaran mencari pramusaji dan memesan minuman kesukannya. Pria itu melonggarkan dasinya karena panas, bukan karena udara, melainkan karena gadis di hadapannya membenarkan posisi rambutnya, menjuntai kebawah. Dia terlalu mempesona, juga berbahaya. Sekali jatuh padanya, jangan harap mampu keluar dari jerat menawannya. Dua tahun, waktu yang cukup untuk menjalin hubungan dengan gadis ini, gadis yang sudah mengisi kekosongnnya dengan waktu-waktu bahagia kebersamaan yang tak pernah pudar dalam ingatan. Mereka tersusun rapi dalam laci-laci di pikiran.
“Hal penting apa yang ingin dibicarakan sampai meminta bertemu di jam kantor? Kau merindukanku?” Segaris canda makin meluluhlantahkan perasaan pria di hadapannya.
“Aku ingin membatalkan pernikahan kita.”
Senyum gadis itu hilang. Tiba-tiba ia tergelak, “Hei, jangan bercanda seperti itu, pernikahannya ‘kan besok.” Namun, tak nampak sama sekali gurat canda dari paras eloknya. Rey menghela, “untuk menikahimu, aku tidak cukup mencintaimu.” Gadis itu menatap nanar, gamang. “A-apa aku melakukan kesalahan?”
“Tidak ada.”
“Tapi.. Kenapa?”
“Mendadak aku benci melihat wajahmu.”
“Aku saja yang pergi, dari awal aku yang mengganggumu.”. Masa lalu yang mendatanginya beberapa saat lalu menguap begitu gadis tersebut menarik kembali tangannya. “Tapi, kalau nanti kau berubah pikiran, katakan padaku. Namaku Rasya Savellia.” Ia mengulurkan tangan. “.. Panggil saja Lia. Namamu?”
Pak Rei, masalah di kantor pusat semakin besar. Investor kemarin mendadak menarik kembali semua investasinya, mereka menjebak kita. Dan, orang dari kejaksaan ada di kantor dengan surat penahanan saat ini. Apa yang harus kita lakukan pak? Dan, bagaimana pernikahan bapak besok?
Rey menatap tangan Lia yang masih melayang di udara. Hasratnya mendesak, namun logika terus menolak, hasilnya hanya buang muka dari sang pengecut. Terdengar Lia menghela, “Senang bertemu denganmu, lain waktu perkenalkan dirimu.”
Lia membalikkan badan dan berjalan menjauh, semakin jauh. Rey menekan dadanya, rasanya sama seperti satu tahun lalu,  Lia juga berbalik menjauhinya. Ia hanya mampu menatap punggung ringkih itu dari depan pintu kafe ditengah hujan yang kian lama kian deras.  
“Pak Rei Alfa? Anda ditangkap karena tuduhan penipuan. Anda punya hak untuk tetap diam dan apapun yang anda katakan bisa dipakai sebagai bukti di muka pengadilan.” Rey tak merespon, terlebih ketika kedua tangannya di borgol oleh dua polisi. Ia masih ingin melihat calon istrinya untuk terakhir kali. “Aku tahu ini tidak masuk akal, aku yang tak ingin dilihat olehmu dalam keadaan memalukan. Tetapi, sesuai dugaanku. Ini yang terbaik. Kuharap, kau setidaknya memiliki akhir cerita bahagia. ” Rey berujar pelan.
Ia digiring masuk kedalam mobil polisi. Mendadak terdengar suara jeritan beberapa orang,hantaman benda tumpul serta klakson bersahutan. Rey seketika menoleh, namun Lia tidak disana. Tapi sepuluh meter jauhnya dengan tubuh remuk, dan sekarat. Rey jatuh terduduk di bangku taman, ia seperti pengelana waktu yang dipaksa berpindah antara masa lalu dan masa kini. Tubuhnya lelah, hatinya lelah. Ia sedih sampai tiap sendi di tubuhnya ngilu, rasanya seolah ada seseorang yang berjalan diatas jantungnya, jantungnya seperti ingin meledak. Kembali, Rey memandangi punggung Lia yang samar.
“Untuk calon pengantinku, kisah kita ini hanya akan diingat olehku, kisah kita tidak akan menghilang. Aku akan menjaganya, aku akan menghargainya, tapi, aku tidak akan kembali. Hanya kenanglah kenagan yang indah dan bersinar. Baik itu kenangan di masa sekarang, atau dikehidupan yang lalu. Dan juga lupakan aku. Kuharap kau setidaknya memiliki akhir yang bahagia.” 
-Fin-

Jangan lupa sertakan sumber setelah copy paste ya!
Salam Literasi!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Pendek : Kisah Toko Buku

Halo!! Sebelum memposting cerpenku, kali ini aku mau cerita dikit ya? tepatnya tentang dari mana ide cerita ini muncul.  Jadi, di sore yang gelap, hujan dan penuh geludug, aku membuka halaman twitterku, dan menemukan sebuah thread yang didalamnya sudah ribuan orang me-retweet dan reply.  judul Theard itu adalah :  "KETEMU JODOH DI TOKO BUKU" Begitu aku membacanya, kepala gabut-ku yang mulanya mentok karena terserang writer block, mendadak mendapat pencerahan. setelah itu, malamnya aku langsung membuat cerpen ini, dua jam kemudian siap meskipun masih ragu untuk judulnya.  Terimakasih untuk akun twitter @federicakim telah memberikanku inspirasi yang begitu berharga.. Semoga orang itu memang jodohmu.. aamiin.. PS : nama, tempat, dan unsur lain dalam cerpen diubah dari cerita aslinya. Selamat Membaca! Kisah Toko Buku Rasa sakit tidak pernah peduli dengan seberapa besar perasaan kita terhadap seseorang. Dan kadang, rasa itu membutakan se

Cerita Pendek : Cincin

Helo People!  Kukembali dengan membawa  satu cerita pendek lainnya!  Semoga suka! and..  Happy Reading! Cincin Jakarta tidak berubah, panas matahari masih begitu terik, di perparah dengan kemacetan yang kian hari kian padat. Baik panas ataupun macet, dua hal lumrah tersebut sudah jadi bagian hidup semua orang yang menetap di dalamnya. Meski begitu, hal-hal yang menurut sebagian orang tak menyenangkan ini bisa jadi pemicu rindu seorang kala jauh, setidaknya itu menurut Azka, seorang mahasiswi yang merantau jauh ke negeri ginseng. Studinya dimulai ketika ia lolos seleksi beasiswa S1 Kyunghee University untuk Departemen of Fashion Art di Kota Seoul, Korea Selatan. Bukan perkara mudah untuk mendapatkannya, tetapi Azka bersyukur bisa jadi orang beruntung yang dapat berkuliah di salah satu universitas terbaik se-Asia. Azka tidak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mendalami ilmu fashion yang seyogianya merupakan cita-cita Azka sejak kecil, ditambah jika berkaca dari kejadian

Cerita Pendek : Yogya Bersamamu

Yogya Bersamamu Matahari bersinar. Hangatnya harumkan bunga bermekaran. Tiada tempat setenang disini, setidaknya menurut Fairizh, atau akrab di panggil Fay, seorang gadis keturunan Tiongkok-muslim yang lahir dan besar di Ibukota Jakarta. Belum genap seminggu setelah ia bermukim di sebuah penginapan asri dipusat kota Yogyakarta , ia langsung jatuh hati. Disini, ia temukan satu hal dimana sebuah senyum dan sapaan nan ramah bisa menggugah hati. Karena begitu ia keluar penginapan, ia disambut hangat orang-orang sekitar. “Selamat pagi mbak Fay, Pagi-pagi udah cantik, to?” ialah Pak Anto, pria berumur pengelola villa dengan senyum ramah melekat dan logat jawa yang kental. “Selamat pagi juga P ak. Iya nih mau lihat-lihat keratin sekalian mau cari oleh-oleh buat yang di Jakarta.”,ujar Fay. “Baru selesai lari pagi ya, Pak?” “Iya dong. Daripada tidur dirumah mending keluar cari keringet mbak, badan juga jadi sehat.”, katanya. “Ohya? Mbak Fay gak akan nyesal kalau kesana. Nah kal