Helo People!
Kukembali dengan membawa satu cerita pendek lainnya!
Semoga suka! and.. Happy Reading!
Cincin
Jakarta tidak berubah, panas
matahari masih begitu terik, di perparah dengan kemacetan yang kian hari kian
padat. Baik panas ataupun macet, dua hal lumrah tersebut sudah jadi bagian
hidup semua orang yang menetap di dalamnya. Meski begitu, hal-hal yang menurut
sebagian orang tak menyenangkan ini bisa jadi pemicu rindu seorang kala jauh,
setidaknya itu menurut Azka, seorang mahasiswi yang merantau jauh ke negeri
ginseng.
Studinya dimulai ketika ia lolos
seleksi beasiswa S1 Kyunghee University untuk Departemen of Fashion Art di Kota
Seoul, Korea Selatan. Bukan perkara mudah untuk mendapatkannya, tetapi Azka
bersyukur bisa jadi orang beruntung yang dapat berkuliah di salah satu
universitas terbaik se-Asia. Azka tidak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk
mendalami ilmu fashion yang seyogianya merupakan cita-cita Azka sejak kecil,
ditambah jika berkaca dari kejadian lima tahun silam yang menimpanya, pergi
meninggalkan Jakarta dan menetap disana merupakan pilihan yang sangat tepat.
Baru saja ia sampai di Bandara Seokarno-Hatta
dua hari lalu, seorang sahabat yang setia menunggu kepulangannya langsung
menelpon dan disinilah Azka sekarang, berdiri menghadap sebuah caffe buku
tempatnya nongkrong semasa SMA dulu. Sensasi rindu dibumbui sayatan-sayatan
tipis didadanya terasa perih melihat desain eksterior bangunan tak banyak
berubah sejak kepergiannya.
“Sedang menunggu seseorang, Nona
Azka?”
Azka spontan menoleh dan memekik
senang, “Rizky!”, kedua sahabat yang lama terpisah itu saling berbagi pelukan
rindu dan melempar sapa satu sama lain. Rizky Ryan ialah sahabat karib Azka
sejak kelas satu SMA, mereka bertemu digedung pertunjukkan teater disekolah,
sejak hari itu sampai sekarang, Azka dan Rizky tak terpisahkan. Dulu, banyak
orang berpikir Azka dan Rizky menjalin hubungan spesial tapi kenyatannya tidak
begitu karena tidak hanya ada Azka dan Rizky yang berada dalam lingkar
persahabatan, orang tersebut adalah Rayhan, pria bermata indah yang memberi
warna pada persahabatan ketiganya serta memberi banyak sekali duka untuk Azka.
Bunyi denting lonceng menyapa
begitu Azka dan Rizky masuk, disusul aroma harum coffee mengalir hangat
menyergap indra penciuman, suara keras pelan pengunjung caffee yang berkunjung,
beserta tempo hentak kakinya memaksa pikiran Azka kembali memutar klip-klip
memori dari CD usang di laci kenangannya bergerak cepat tanpa irama yang jelas,
memberikan efek pada detak jantung yang ikut berpacu memaksanya untuk mengingat
kembali kenangan manis disini yang tak ubahnya menjadi duka yang memilukan.
Rizky memilih mencari tempat duduk
di bangku di pojok dekat jendela kaca yang tidak banyak dilintasi orang, namun
cukup strategis karena dapat melihat keseluruh ruangan ditambah pemandangan
yang berada di luar jendela.
“Bagaimana kamu disana? Yakin gak
ketemu pria tampan yang cocok dijadikan kekasih?”,tanya Rizky kemudian. Azka
mengangkat bahu, “Mereka semua cantik-cantik.”, Rizky mengerutkan dahinya, “Aku
tahu wanita disana cantik-cantik, tapi kan yang kutanyakan itu laki-lakinya.”
“Maksudku juga itu, pria disana
cantik-cantik, kadang aku merasa gagal jadi perempuan.”,kata Azka enteng. Rizky
melongo sesaat, kemudian tertawa geli pada ucapan Azka yang sebenarnya tidak
lucu. “Begini Azka yang kukenal, kau tidak pernah berubah.”,ujar Rizky usai
tawanya selesai.
Rizky memanggil pelayan dan memesan
minuman, satu cup Trooper Frappoccino untuk Azka dan Chocorilla Frappuccino
untuk Rizky. Gerak tubuh pria itu tertangkap mata Azka, cara Rizky mengangkat
tangan tadi, kemudian ketika jarinya menunjuk menu di buku, Azka merasa baru
melihat satu adegan sama namun diperankan oleh dua aktor yang berbeda. Seolah
kejadiannya baru terjadi kemarin sore, di tempat duduk yang sama serta posisi
yang sama pula, hari dimana orang tersebut pergi sambil membawa sebagian dari
hatinya. Azka mendapati dirinya terdiam kaku dengan otak yang selalu menyerukan
sebuah nama. Rayhan. Rayhan. Rayhan.
“Azka, kok wajahmu pucat begitu?
Ingat Rayhan lagi.. ya?”,tanya Rizky hati-hati.
Kabut tipis bening menghalangi
pandangan mata Azka jadi kabur. Setelah kepergiannya ke Seoul, belum pernah ia
dengar seorang menyebutkan nama itu lagi, dan hari ini hal itu membuat benteng pertahanannya
hampir roboh, tapi untung saja diselamatkan oleh pelayan yang datang membawakan
pesanan.
“Yah, karena kamu menyebut namanya,
aku jadi ingat. Ngomong-ngomong, gimana keadaan Rayhan sekarang? Pasti kamu
pernah dengar kabar dari dia dong?Dia baik-baik saja kan?”,tanya Azka setelah
pelayan tersebut pergi.
Rizky menghela, terasa berat
melihat Azka berubah muram seperti ini. Sesungguhnya, hal ini juga berat
untuknya, dan selama ini Rizky menunggu sang waktu. “Azka, dengarkan aku. Ini
sudah lima tahun berlalu, sampai kapan bayang-bayang Rayhan berdiri di depan pintu
hatimu dan menghalangi orang lain yang berniat masuk?”
“Rizky, aku cuma tanya doang kok.
Sejak dia memutuskan pergi untuk menikah dengan wanita lain yang katanya jauh
lebih baik dariku tak pernah sekali pun aku dengar kabar tentangnya, aku ingin
tahu bagaimana pernikahan mereka, dan seharusnya ia sudah mempunyai anak
sekarang, kan?”
Hati Azka terasa di iris-iris. Meski
pikirannya terus memaksakan diri untuk memupuk kebencian kepada Rayhan yang
mengkhianatinya dulu, kenyataannya hatinya selalu berontak dan tetap memanggil
nama pria tersebut dalam tidurnya. Hari itu, ketika tiba-tiba Rayhan memutuskan
untuk mengakhiri hubungan mereka yang awalnya baik-baik saja, langit seperti
runtuh menimpa kepalanya. Ia tidak tahu bagaimana dengan Rayhan, tapi bagi Azka,
ia satu-satunya pria yang mampu melelehkan benteng es yang menyelimuti hatinya,
orang itu juga yang menghidupkan kembali cita-cita Azka yang sempat padam,
untuk menjadi desaigner seperti saat ini.
“Dia sudah bahagia, Azka. Ikhlaskan
dia.”,katanya lirih. Rizky tahu betul percakapan ini berubah serius dan
beresiko. Satu kata saja, dapat membuat boomerang dalam diri gadis didepannya
meloncat tak terbantahkan. Ia tahu bagaimana terlukanya Azka dikhianati Rayhan
ketika itu. Jika jadi Azka ia juga akan sama merananya, bahkan lebih.
“Bagaimana bisa aku membiarkannya
pergi sedangkan hatiku tetap dibawanya lari? Apa Tuhan hanya mempertemukan kami
sesaat tanpa berniat menyatukannya? Apa semua kata cintanya padaku hanya
ungkapan tak bermakna? Kenapa dia pergi tanpa pikirkan efeknya buatku? Kenapa
dia membuatku kuat, menjadikanku tegar dan membahagiakanku kemudian kembali
membuat hatiku berantakan?”,Azka mulai emosional. “Apa aku satu-satunya yang
gila disini?”
Rizky bergerak menyentuh tangan
Azka yang dingin. Diliriknya pelayan tadi yang terlihat heran karena pesanannya
tak kunjung dirasa. Azka menundukkan wajahnya.
“Sejak awal hubungan kami dan
setelah dua tahun berlangsung, apa hanya aku yang menganggapnya serius? Kenapa
dia begitu jahat memintaku melupakannya?”, suara Azka berubah getaran.
“Apa kamu tahu alasan apa yang
membuat Rayhan meninggalkanmu?”, Rizky tak tahan dengan kepedihan Azka yang
berlarut-larut, akhirnya ia keluarkan retorika tersebut.
Rizky mengeluarkan sebuah kotak
kayu kecil berwarna coklat seukuran kepalan tangan yang tiap sisinya dipenuhi
ukiran pahat yang rumit. Ia sodorkan ke dekat Azka. “Maafkan aku, aku tak
bermaksud menyakiti hatimu. Tapi sepertinya ini waktu yang tepat.”
Azka memandangi kotak kayu yang
warnanya sudah sedikit pudar tanpa ada sedikit pun niat membukanya. Semua benda
yang berkaitan dengan Rayhan sudah lama dilenyapkannya, lalu apa ini? Apa
Rayhan berniat membuatnya makin terpuruk dengan memberinya kotak ini?
“Azka.”,panggil Rizky. “Kupikir
kamu ingin tahu alasan Rayhan sering pergi tanpa memberi kabar, dan kurasa kamu
penasaran kenapa Rayhan meninggalkanmu, dan semua penjelasannya.”
Azka menyeringai. Penjelasan?
Setelah lima tahun pria itu baru ingin memberinya penjelasan lewat kotak ini? Yang
benar saja!?
Rizky mengusap punggung tangan Azka
menghilangkan keraguan dimata Azka. Perlahan, Azka membukanya.
Azka mengerutkan dahi. Didalam
kotak, terdapat dua buah cincin berwarna putih yang disisi atasnya terdapat
sebuah permata mungil, ukuran dua cincin tersebut berbeda. Azka meraih salah satu
cincin yang berukuran besar, melihatnya dari dekat kebagian dalam lingkaran,
ada ukiran tulisan nan rumit. Azka
Fadilla. Azka tercenung, itu kan—ITU KAN NAMANYA!!
Azka bingung, terperangah tak
mengerti, lalu dia ambil cincin lain yang ukurannya lebih kecil. Rayhan Sukma Ginanjar. Kepala Sisi
pening, pusing, dan berkunang-kunang. Dadanya bergemuruh. Ada apa ini
sebenarnya?
Ia alihkan mata pada secarik kertas
berlipat-lipat di dasar kotak dan membaca tiap kata per kata.
Hallo, Azka Fadilla..
Sebenarnya, kutulis sepucuk surat ini hanya untuk berjaga-jaga.
Karena kutahu, sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Terlepas dari penyakit
yang tak hentinya menggerogoti seluruh jiwa dan ragaku, hidupku tinggalah hitungan jari..
Meski kau rela mati demi diriku, aku tak bisa memintamu terus berada
disini, memaksamu menanti senja yang dalam sekejap mata menjemputku.. Aku tak
bisa pergi jika meninggalkan torehan luka diujung harapanmu..
Kau adalah wanita cantik terbodoh yang mencintaiku, terimakasih.. dan
maafkan aku..
Dan ketika kau membaca surat ini akulah orang terbodoh yang
melukaimu begitu dalam.
Untuk cintaku, Azka Fadilla.. Meski kuselalu melarikan diri dan tak
berterus terang, yakinlah bahwa aku sungguh mencintaimu, aku selalu
mencintaimu, dan akan terus mencintaimu.. Entah aku hidup atau mati, cintaku
takkan pernah berubah.
Sekarang, cinta kita adalah tanggung jawabku, kewajibanmu adalah
hidup dan bahagia.. Buka hatimu, dan biarkan orang lain mengisi kursi kosong
disana.. agar semuanya tidak terlihat tak adil untukmu..
Aku mencintaimu..
Dari pria yang ingin menemuimu
Rayhan
Dingin dan beku. Azka merasa
sekujur tubuhnya mengkristal, mengeras tanpa ada secelah pun untuk lari. Bumi
berguncang dalam kepalanya, menumpahkan jerit putus asa, menguras seluruh darah
dari tubuhnya dan mencabut jantung dari tempatnya. Air mata Azka bercucuran
bersamaan dengan disudahinya surat tersebut.
“Rayhan mengidap kanker darah yang
membuatnya harus pulang-pergi ke luar negeri untuk segala pemeriksaan dan
pengobatan. Alasan dia meninggalkanmu bukanlah yang sebenarnya. Bahkan sampai
akhir khayatnya, Rayhan selalu menyebut namamu. Kau memang terluka, tapi Rayhan
sama tersiksanya. Baginya, daripada menyakitimu, lebih baik kau salah paham dan
benci padanya. Itu cara dia agar orang yang dicintainya tidak terlalu
menderita.”
“Lalu.. cincin ini?”
Rizky menghela, terasa sesak juga
menjelaskannya. “Mimpinya ialah membuatmu bahagia dan hidup bersama denganmu
dimasa depan. Tapi takdir yang digariskan untuknya menguapkan cita-cita serta
harapannya untuk melamarmu, waktu adalah hal yang tidak dimiliki Rayhan.”
Azka merosot. Bodoh sekali ia
menilai sikap tulus Rayhan sebagai suatu pengkhianatan. Rasa pedih terus
menyerang lewat pori-pori kulitnya. Dadanya sesak dan tenggorokannya tercekat. Batinnya
meronta untuk lepas dari semua kesakitan ini. Dan, masih dalam genangan lukanya
Azka sadar, Rayhan tak pernah sekali pun menyakitinya dan satu hal yang Azka
yakini, Rayhan memang pergi, tapi tak akan meninggalkannya. Karena sebagian
dari orang itu selalu mampu menemukan cara untuk tetap bersamanya.
-Fin-
Bagaimana pendapatmu? sertakan komentar kritik dan saran ya teman-teman!
Jangan lupa sertakan sumber jika ingin copy paste!
Dan, kunjungi akun wattpadku untuk cerita lainnya → Fate In You
Komentar