“Mari kita akhiri sampai disini saja.”
“M-maksudmu?” iris coklat mudanya melebar, raut
bingung penuhi wajah eloknya. Gadis itu mendongak menatap pria jangkung
disampingnya penuh tanda tanya. 180 cm, setinggi itu kira-kira, sementara
dirinya, 15 cm lebih rendah.
Bhanu. Matanya selegam arang, jembatan hidungnya
tinggi dan garis rahangnya terukir jelas. Dengan badan yang cukup dengan massa
otot dan bahu lebar yang tegap, pria ini adalah perwujudan dari bukti nyata
bahwa Tuhan sedang bahagia ketika menciptakannya.
Bhanu menatap gadisnya dengan seksama. “Aku tidak bisa
melakukannya lagi, ini sangat melelahkan. Aku ingin berhenti menunggumu,
khawatirkan keadaanmu, aku ingin hidup dengan tenang tanpa terusik olehmu.”
Gadis yang rambutnya tersapu deru pantai itu terdiam dan
bingung. “Bhanu, maaf—”
“Kita menikah saja, Val.” Potongnya langsung. Gadis
yang dipanggil Val itu terkejut bukan main, masih berusaha menjernihkan
telinganya—takut-takut salah dengar.
“Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, dan khawatir.
Aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri, disisiku sepanjang hidupku. Lebih
dari siapapun didunia ini, aku ingin lukis kebahagiaan denganmu.” Bhanu meraih
wajah kekasihnya, bibirnya mengukir senyum. “Valerie, menikah denganku ya?”
***
Bhanu cepat membalas panggilan menggunakan HT yang ia
genggam, sembari menguapkan bayang tentang Val dari pikirannya. Setelah
mendapat komando, ia bergegas menghadap atasannya. Riuh rendah macam-macam
orang berlalu lalang, gurat masam dan kesedihan mendominasi wajah-wajah warga
sipil yang mendadak kehilangan harapan hidup, tempat tinggal, bahkan orang
terkasihnya. Sebab lempeng teknonik jauh di samudera sana, meratakan seluruh
hal yang mereka miliki, bahkan kebahagiaan. Gempa 7,8 scr adalah awal dari
segala mimpi buruk yang bahkan tak berani mereka bayangkan. Tidak cukup sampai
disitu, gempa susulan datang tak kalah dahsyatnya, seperti alam murka dan memuntahkan
segala emosinya. Dahan pohon hancurkan rumah dan satwa, bangunan dan fasilitas
umum sudah tidak lagi berupa. Mayat bergelimapangan, belum pula jerit tangis
mereka yang kehilangan.
Bhanu melangkah dengan langkah besar, menghampiri 4 –
5 orang berpakaian orange terang, dengan safety helmet dikepala, dan
boots besar memeluk kaki masing-masing. Begitu ia datang, percakapan penuh kode
terjadi, warga yang harap-harap cemas jauh dibelakang mereka hanya bisa
menerka-nerka. “Tolong jangan lewat garis ini, bu! Berbahaya!” seorang dengan
pakaian orange mencolok yang sama, tetapi dengan paras yang jauh lebih muda
mengingatkan untuk kesekian kalinya.
“Kau yakin?” tanya sang komandan.
Bhanu mengiyakan. “aku akan coba masuk.” Ia mulai
mempersiapkan diri dengan segala protokol keamanan yang diperlukan. Ia pandang reruntuhan
pabrik itu dengan perasaan campur aduk. Ingatannya kembali ke hari yang sama,
satu tahun lalu, hari itu, ia yakin
sekali Val akan menjadi wanita tercantik yang menggunakan dress pengantin.
Bhanu mengecek penampilannya kembali di kaca sambil
menunggu Val yang katanya akan datang tepat waktu. “Tuan Bhanu, seseorang
mencari anda diluar.” Seorang karyawati menghampirinya.
Bhanu tersenyum lebar sekali, Val pasti terkejut
dengan penampilan Bhanu saat ini yang sudah siap menjadi mempelai pria.
Sesampainya ditempat parkir, sebuah mobil orange muncul, bersamaan dengan pria
paruh baya yang menggunakan seragam yang senada dengan mobil.
“Selamat siang, Pak Panca.” Sapa Bhanu. “Hari ini saya
dan Val akan fitting baju pengantin. Apakah Val yang meminta bapak
mengantarnya?” tanyanya penuh senyuman.
Berbanding terbalik dengan Bhanu, pria dengan kening
berkerut itu diam menunduk, matanya memerah dan pandangannya tidak awas, ia
kemudian mengulurkan tangan, memberikan sebuah kalung liontin, jelas sekali. Kalung
pemberian Bhanu untuk Val.
“Apakah Val terlambat dan mengirimmu kemari, pak?”
Panca tertunduk. “Maafkan saya.” Suaranya penuh sesal.
“Harusnya saya cepat menolongnya. Kami kehilangan Val di area bencana, dan
gagal menyelematkannya.” Suaranya berubah rendah. “Ia gugur.”
Bhanu terpaku. Batu puluhan ton rasanya menghantam
dadanya tanpa permisi, menghimpit tenggorokan dan jalur napasnya, mendesak air
mata untuk keluar. Seluruh sendi
ditubuhnya mendadak linu dan nyeri, dengan setengah sadar dan penuh kesetanan,
ia menancap gas menuju tempat dimana Val berada, tepatnya dimana mayat Val
tergeletak, sudah dibalut kantung jenazah.
Bhanu membuka resleting kantung tersebut, menyaksikan
tubuh Val lemas, pucat dan remuk. Bhanu gemetaran, mengusap wajah calon
istrinya yang dingin dengan kulit daging yang terbuka, kemudian mengguncangnya hati-hati.
“Val, ayo pulang.” Ajaknya. Tentu saja, tidak ada
jawaban. “Val..” suaranya berubah serak. “Disini dingin, nanti kau sakit.”
Air mata Bhanu jatuh di pipi, mengaliri kantung
jenazah yang licin, dan berakhir ditanah kering. Ia mengguncang Val lagi, “Ayo,
pulang.. aku sudah siapkan semua untuk pernikahan kita besok.”
Bhanu terisak, nyeri di dadanya bertambah hebat, melihat
kondisi kekasihnya yang mengerikan, tenggorokannya tercekat, “Kumohon..”
pintanya dengan suara penuh derita, putus asa. “Aku janji kau akan jadi relawan
dengan gaun pernikahan paling cantik.”
Bhanu memanggil nama pengantin wanitanya
berulang-ulang, pilu dihatinya membuat oksigen sulit untuk dicapai, akhirnya
tanpa sisa tenaga lagi, Bhanu jatuh tepat disebelah Val yang tidak bernyawa,
dengan tuxedo putih yang berlumuran darah, darah Val.
Krskkrsk!! “Bhanu, monitor!”
Bhanu menyalakan senter dihelmnya, menyisir masuk
kedalam reruntuhan yang sudah dibuat oleh tim sebelumnya, alat komunikasi di
pinggang dan telinganya memberi petunjuk dan panduan agar ia tak tersesat,
apalagi terjebak.
Bhanu menghela napas, ia tidak takut jika beton-beton
10 cm diatas kepalanya mendadak menimpa dan menguburnya, ketakutan terbesarnya
sudah ia keluarkan semua, satu tahun lalu. Val, kekasih yang sudah 5 tahun
bersamanya, harus gugur karena mengorbankan diri setelah menolong warga sipil
yang terjebak reruntuhan gua. Dedikasi yang tinggi sebagai pahlawan
kemanusiaan.
Bhanu benci fakta itu, bahwa Val sangat bersemangat
menjadi seorang relawan bencana, dan cinta terhadap pekerjaannya itu, melebihi
cintanya pada Bhanu. Setelah kejadian mengerikan itu, Bhanu butuh waktu lebih
dari satu tahun untuk pulih, obat dan segala macam terapi telah dilalui. Orang
disekitarnya menghiburnya, bahwa waktu akan pulihkan luka. Tetapi, betapa pun
ia ingin lupa, dengan memejamkan mata saja, Val langsung menghampirinya, hanya
saja dalam wujud kenangan terakhir mereka, Val yang kaku, dan bisu.
Dan, disinilah ia sekarang, Bhanu yang seorang Dosen
Teknik Mesin sekarang berusaha menyelematkan korban reruntuhan pabrik akibat
gempa dahsyat.
“Saya baik-baik saja, ganti.” Jawab Bhanu di handy
talky.
***
Bersambung..
Komentar